Pada Kesempatan Kali ini SIKAMSEUPAY BLOG akan berbagi tentang – Kuasai Saham Lebih dari 10 Persen .
Tribun Kaltim – Jumat, 21 Desember 2012 18:32 WITA
Oleh: Muhammad Muhdar, Direktur Eksekutif Prakarsa Borneo
SECARA kontraktual, pengelolaan Blok Mahakam oleh Total Indonesie akan berakhir Tahun 2017, sehingga memunculkan peluang dalam pengelolaannya. Konsekuensi pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, terutama pasca 2017 memunculkan dua hal dalam kerangka pengelolaannya.
Pertama, setiap badan hukum memiliki peluang sama untuk mengelola karena tidak ada monopoli seperti dalam rejime UU Nomor 8 Tahun 1971 meskipun masih ada peran besar pemerintah melalui Menteri ESDM.
Posisi Menteri ESDM untuk beberapa hal terdapat kekaburan ketika kewenangannya sedikit terganggu dengan Keputusan MK Tanggal 21 Desember 2004 yang mempersoalakan “prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam”. Dalam keputusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang MIGAS, terutama Pasal 12 ayat (3), karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak berkekuatan hukum mengikat (terutama pada kegiatan eksplorasi). Di lain sisi, kementerian ESDM masih memiliki kewenangan penuh dengan melakukan fungsi rangkap sebagai pengawas, pembina, regulator, dan sebagai pelaku usaha (termasuk menandatangani kontrak di sektor hulu yang menurut undang-undang lama ditandatangani oleh presiden).
Posisi ini tidak mudah bagi Kaltim berhadapan dengan institusi sebagai regulator sekaligus operator. Kedua, UU Nomor 22 Tahun 2001 tidak menyebutkan adanya spesifikasi bentuk pengelolaan dengan pihak investor.
Rumusan undang-undang tersebut hanya menyebutkan kontrak kerjasama, dalam hal ini adalah kontrak bagi hasil atau kontrak kerjasama lain dalam kegiatan eksplorasi-eksploitasi dengan memperhitungkan aspek menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemamuran rakyat (Pasal 1 angka 19 UU Nomor 22 Tahun 2001).
Jika ketentuan ini sebagai pijakan hukum, Pemprov dan Pemda-Pemda Kaltim perlu menetapkan posisi pilihan kerjasama yang menguntungkan, apakah dalam bentuk Konsesi (concession), Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) sebagaimana kontrak saat ini, Kontrak Jasa Risiko (risk service contract), Kontrak Jasa Service (service Contract), atau Usaha Patungan (joint venture). Jika mengikuti pandangan dari sebagaian kalangan bahwa Kaltim harus memiliki lebih dari 10% dari ketentuan yang tersedia maka wajar jika perlu juga diikuti dengan hitungan secara tepat model kerjasama yang dipilih. Sebaliknya, jika hanya memiliki 10% atau di bawah angka tersebut maka sudah wajar juga jika Kaltim wajib mengikuti pemegang saham mayoritas.
Di samping itu, dari perspektif hukum masih membutuhkan klarifikasi terhadap badan hukum yang terlibat dalam pengelolaan Blok Mahakam.
Pandangan ini penting diajukan mengingat wilayah administratif Blok Mahakam terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara sehingga frasa ditawarkan kepada BUMD tidak boleh lalu diartikan BUMD di bawah naungan Pemerintah Provinsi. Jika diartikan keduanya, dan memang ‘sepertinya’ tidak menjadi persolan pada dua level pemerintahan tersebut maka memunculkan pengertian sama bahwa semua BUMD di seluruh Kaltim bisa memiliki saham.
Tantangan baru sudah bisa dipastikan akan muncul manakala seluruh BUMD-BUMD Kaltim ikutserta di dalamnya oleh karena mereka tidak memiliki catatan pengalaman di bidang usaha migas kecuali Perusda Benua Taka di PPU, itupun dalam skala terbatas termasuk pengalaman mereka dalam melahirkan keuntungan bagi keuangan daerah.
Keinginan Pemprov Kaltim, Kukar, dan beberapa komentator masih sebatas ‘semangat’ dan belum sampai pada tawaran desain konfrehenship mengenai skema pengelolaan, pendanaan, kelembagaan, cost and benefit, pengaruhnya terhadap lingkungan masa pengelolaan, dan pasca pengelolaan. Performa APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota menunjukan pola pembiyaan defisit sehingga tidak memungkinkan adanya penyiapan dana dalam jumlah yang cukup memadai (lihat saja jumlah dana penyertaan di perusda-perusda, Bankaltim, dan pihak ketiga lainnya yang secara akumulasi tidak mencapai angka 1 Trilun). Kejelasan anggaran perlu dirumuskan oleh karena dana yang paling mungkin dilirik Kaltim saat ini baru bersumber dari APBD. Ketidaksiapan kita dalam menyiapan dana, berpotensi menghilangkan peluang dan ini juga berarti mengulangi sejarah Divestasi PT. Kaltim Prima Coal atas saham yang tidak terbeli dari total saham hak Kaltim dan Pemkab Kutai Timur.
Pemerintah pusat tidak akan mengingkari UU migas sepanjang mengenai PI kepada Kaltim. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tafsir historik lahirnya ketentuan mengenai PI dilatarbelakangi oleh posisi daerah boleh menginvestasikan kekayaannya untuk tujuan memperkuat stuktur penerimaan asli daerah termasuk dari usaha sektor migas.
Politik ekonomi pemerintah merupakan alasan yang paling mungkin dilakukan agar terkesan ingin mengakhiri praktek ketidakadilan distribusi SDA yang bernilai ekonomi tinggi di daerah-daerah pemilik tetapi rakyatnya masih miskin. Sambil menunggu proses yang masih panjang dalam penetapan PI Blok Mahakam, sudah sewajarnya pemerintah daerah di Kaltim menginisiasi beberapa hal strategis, di antaranya:
1. Penguasaan saham lebih dari 10% memungkinkan Kaltim akan berdaulat dengan SDA yang dimiliki sehingga bisa sebagai obat pelipur lara atas kegagalan Kaltim dalam upaya JR UU Nomor 33 Tahun 2004. Sisi positif, UU Nomor 22 Tahun 2001 yaitu adanya ruang bagi entitas bisnis untuk berpartisipasi dalam pengelolaan migas, ini berarti kolaborasi APBD-pihak ketiga menjadi alternatif yang paling mungkin, dengan ketentuan: pilih yang paling berpengalaman menghasilkan untung.
2. Jika pemerintah memberikan kesempatan bagi Kaltim untuk berpartisipasi di Blok Mahakam sudah seharusnya memastikan dengan tepat bahwa keuntungan dari usaha migas (bagian Kaltim) bukan untuk biaya recovery lingkungan secara keseluruhan di Kaltim sebagai akibat regulasi berkarakter eksploitatif selama ini.
3. Keikutsertaan Kaltim (PI) di Blok Mahakam merupakan desain bisnis dalam skala besar, untuk itu, APBD Kaltim dan Kabupaten/Kota sudah harus disisihkan sampai pada angka tertentu sebanding dengan jumlah saham yang diinginkan. Kegagalan dalam skema seperti ini sama artinya para pengambil kebijakan di Kaltim masih lebih suka (aman) dengan sistem penganggaran yang terbangun selama ini.
4. Persiapan menginvestasikan dana dalam jumlah besar dan untuk kegiatan besar membutuhkan kebijakan yang cerdas, ini juga berarti harus terdapat cukup orang, bertanggung jawab, mengerti, dan memiliki keberpihakan terhadap masyarakat Kaltim.
Apabila hal di atas tidak dimulai, maka semangat berbagai kalangan akan mudah tertelan oleh ‘licinnya minyak’Â dan bunyinyapun sama dengan suara Dosen yang hanya berpendapat tapi tidak berwenang secara hukum untuk memulai. (*)