Situasi Perekonomian "Indonesia" Serba Sulit

Situasi perekonomian yang sulit kembali dihadapi negeri ini. Nilai tukar rupiah kini sudah menembus Rp 11.000 per dollar AS. Tingkat inflasi bakal berada di atas 9 persen. Bank Indonesia, pekan lalu, memerlukan rapat darurat untuk memutuskan menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 7 persen. Pilihan BI ini jelas berat karena akan mengorbankan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi yang rendah punya konsekuensi begitu luas. Di tengah upaya mengurangi tingkat pengangguran yang masih lebih dari 7,17 juta orang, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi mutlak perlu untuk menciptakan lapangan kerja. Tugas semakin berat karena lebih dari 2,1 juta orang memasuki lapangan kerja setiap tahun. Mempertahankan mereka yang sedang bekerja saja menjadi beban lainnya.

Menaikkan BI Rate bermakna pedang bermata dua. BI Rate bermaksud menekan angka inflasi yang kian tinggi. BI Rate yang tinggi membuat masyarakat lebih menahan uangnya daripada berbelanja. BI Rate juga membuat mereka yang punya dana besar tidak berspekulasi membeli dollar AS yang semakin memperlemah nilai rupiah. Kondisi yang bisa membuat harga barang impor semakin mahal dan mendorong inflasi.

Runyamnya impor Indonesia masih tetap tinggi. Paling akhir terlihat dari defisit neraca perdagangan pada Juli 2013 yang mencapai 2,3 miliar dollar AS. Impor masih tetap besar. Dampak inflasinya juga akan tetap besar. Paket kebijakan ekonomi yang baru dikeluarkan untuk menekan impor juga belum efektif. Paket yang sangat terlambat karena angka defisit ini sudah berlangsung sejak tahun 2012.

Situasi yang serba sulit ini semakin berat dengan situasi geopolitik di Timur Tengah yang memanas. AS dan sekutunya berniat menyerang Suriah. Harga minyak mentah segera melonjak melampaui 110 dollar AS per barrel. Beban subsidi pemerintah semakin berat. Sulit untuk menaikkan harga BBM lagi. Beban kian berat karena membutuhkan rupiah yang semakin banyak untuk membeli produk minyak dalam dollar AS.

Di tengah pasar global yang masih tetap melemah, tidak ada jalan lain bagi pemerintah dan semua pihak untuk berhemat. Mendorong ekspor jelas sebuah perjalanan terjal. Harga komoditas mungkin murah karena nilai dollar AS yang menguat, tetapi permintaan global sedang tak becus. Tetap tidak terjadi ekspor yang dibutuhkan.

Menarik masuk investasi asing juga bukan hal mudah di tengah inflasi tinggi di dalam negeri. Menaikkan lagi BI Rate untuk menekan inflasi dan meredam jatuhnya rupiah akan membuat pertumbuhan ekonomi kian terpuruk. Penganggur kian runyam karena bisa saja yang sedang bekerja bakal menjadi penganggur.

Di tengah situasi sulit seperti ini tidak bisa lain harus memulai aksi dari diri sendiri. Angka impor yang tinggi harus ditekan dengan berbagai penghematan. Impor bahan bakar minyak harus ditekan. Barang modal yang tidak merupakan kebutuhan prioritas agar ditinjau kembali. Intinya mulai menghemat dengan tidak melakukan impor yang tidak berlebihan.

Aksi yang menyebabkan biaya tinggi yang memberatkan entitas ekonomi agar dihindari. Langkah ini untuk menjaga situasi yang ada tak semakin runyam.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+