Jakarta - Charles Parulian merogoh Rp 525 juta untuk bisa menjadi hakim. Belakangan Charles dikibuli dan kursi empuk hakim pun tak bisa diraih. Beda hakim, beda pula tarif nyogok untuk bisa menjadi anggota Satpol PP.
Kasus uang pelicin ini mendudukkan Jahrudin sebagai pesakitan. "Jahrudin (42) menanyakan anak saya, Firmansyah, apakah sudah bekerja atau belum," cerita Sapri seperti detikcom kutip dari putusan Pengadilan Negeri (PN) Rangkasbitung, Banten, yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Rabu (11/9/2013).
Dalam pertemuan di rumah Sapri, Kampung Pulosari, Muara Ciujung, Rangkasbitung pada 20 Februari 2009, Jahrudin menyanggupi memasukkan Firmansyah menjadi Satpol PP. Namun Sapri harus menyogok Rp 2,5 juta dan Sapri harus pura-pura mempunyai kenalan dengan orang Badan Kepegawaian Daerah (BKB).
Keesokan harinya, Sapri menyerahkan uang Rp 1 juta dan sisanya dibayar setelah diterima menjadi anggota Satpol PP. Namun ternyata Firmansyah hanya lulusan SMP sedangkan syarat menjadi Satpol PP haruslah lulusan SMA. Sehingga perlu dibuatkan ijazah SMA palsu dan memerlukan uang Rp 1,7 juta.
Tiga hari setelah itu, Jahrudin kembali meminta uang Rp 1 juta untuk tambahan membuah ijazah palsu sehingga total uang yang dikeluarkan Sapri sebesar Rp 3,7 juta. Setelah sekian lama menunggu, ternyata janji Jahrudin tidak ditepati. Lalu Sapri melaporkan hal itu ke aparat kepolisian setempat.
"Sampai saat ini anak saya belum bekerja dan belum mendapatkan ijazah," tutur Sapri.
Selidik punya selidik, uang tersebut tidak digunakan untuk mengurus biaya Firmansyah tetapi dimakan sendiri oleh Jahrudin. Atas perbuatannya, Pengadilan Negeri (PN) Rangkasbitung pada 23 Maret 2011 menghukum Jahrudin selama 8 bulan penjara.
Percaloan PNS juga terjadi di Mojokerto. Muzarroh (53) menjanjikan bisa meloloskan Sugiono menjadi guru dengan uang sogokan Rp 20 juta pada 2005 silam. Namun semuanya hanyalah bualan manis Muzarroh belaka.
Muzarroh lalu dihukum 5 bulan penjara oleh PN Mojokerto dan dikuatkan hingga tingkat kasasi pada 2010 silam.