Pada Kesempatan Kali ini SIKAMSEUPAY BLOG akan berbagi tentang – Lebih dari Sekadar Mengejar Participating Interest .
Tribun Kaltim – Jumat, 21 Desember 2012 18:28 WITA
Oleh: Muhammad Muhdar- Direktur Eksekutif Prakarsa Borneo
KEINGINAN
berbagai pihak terhadap rencana pengelolaan Migas di Blok Mahakam pasca kontrak Pemerintah dan Total Indonesie diharapkan mampu mengusik kesadaran kolektif masyarakat Kalimantan Timur untuk menikmati sumber daya alam (SDA).
Perdebatan terakhir telah menyentuh pada tingkat persoalan-persoalan mendasar dalam pengelolaan SDA yaitu masalah keadilan. Apakah para komentator memang sungguh-sungguh memperdebatkannya dari sisi keadilan atau hanya melihat dari sisi kepentingan ekonomi masih harus memerlukan klarifikasi dari berbagai aspek, terutama pada kerangka hukum dan kesiapan Kaltim dalam pengelolaan Blok Mahakam.
Dari sisi ekonomi, kehadiran industri migas tidak dipungkiri telah melahirkan kegiatan ekonomi yang luar biasa, baik saat eksplorasi maupun eksploitasi. Berbagai kegiatan ekonomi ikutan mampu memunculkan ragam aktivitas ekonomi, di antaranya jasa transportasi, ketenagakerjaan, perhotelan, dan industri turunan migas sehingga melahirkan siklus aktivitas ekonomi yang cukup luas. Tidak itu saja, ‘ekonomi migas’ berkonstribusi penuh terhadap penyediaan devisa negara terutama tahun 1970-an dan masih cukup signifikan dilihat dari struktur APBN sampai saat ini.
Dari sisi keadilan, keinginan pengelolaan Blok Mahakan oleh Kaltim menyadarkan kita bahwa kehadiran SDA (migas) belumlah optimal dalam mengangkat kesejahteraan rakyat Kaltim dan bahkan masih ditemukan banyak rakyak miskin yang masih diangka 294.400 (Tahun 2011). Idealnya, semakin kaya SDA yang dimiliki oleh suatu daerah bahkan negara, seharusnya semakin sejahtera rakyatnya. Namun ternyata, kehadiran industri migas dan bahkan termasuk jenis SDA yang lain justru tejadi sebaliknya. Akses terhadap keadilan (access-to-justice) atas ‘ekonomi migas’ masih harus dihadapkan pada persolan relasi pemerintah daerah-pusat (lihat Putusan MK/sengketa bagi hasil), masyarakat sekitar, isu lingkungan, transparansi pengelolaan, dan aspek kepentingan ekonomi global.
Dari sisi kepentingan global, awal kemunculan industri Migas diorientasikan untuk memenuhi kepentingan global melalui mekanisme proses ekonomi (system supply-demand global), yang “dipaksa” mengeksploitasi SDA untuk memenuhi kebutuhan negara-negara maju. Lihat saja, gas yang dihasilkan diorientasikan untuk eksport, sementara PLN dan industri-industri dalam negeri kekurangan pasokan gas. Hal ini menunjukkan bahwa kita belum berdaulat dengan kekayaan SDA yang kita miliki.
Posisi negara yang lemah dalam memaksimalkan manfaat SDA masih harus berhadapan dengan kenyataan bahwa rakyat sulit mengakses pemanfaatan SDA secara adil. Hampir tidak ada regulasi komprehensif mengenai bagaimana pola pemanfaatan SDA tumbuh bersama-sama antara rakyat-pengusaha dan penguasa. Posisi rakyat dalam pemanfaatan SDA lebih dianggap sebagai faktor penghalang dibanding sebagai input penguatan proses ekonomi SDA. Marginalisasi masyarakat di daerah-daerah pemilik tambang kehilangan akses ekonomi dari SDA, baik karena harus berhadapan dengan pemodal, termasuk ‘backup’ oleh negara melalui regulasi. Tidak berhenti disitu, proses marginalisasi terhadap rakyat di daerah-daerah pemilik tambang masih harus berhadapan dengan “serbuan” tenaga kerja dari luar Kaltim sehingga semakin memarginalkan penganggur-penganggur di bumi Kaltim. Dari perpektif ini,harapan keikutsertaan Kaltim dalam pengelolaan migas di Blok Mahakam seharusnya sekaligus sebagai upaya menjawab ketidakadilan distribusi SDA selama ini menuju kesejahteraan berkelanjutan.
Dari perspektif kerangka hukum, keikutsertaan Kaltim harus menjadi perhatian serius oleh karena regulasi usaha migas memiliki karakter yang cukup rumit. Kerumitan pengaturan dalam pengeloaan komoditas ini sudah mulai nampak ketika Pemerintah Hindia Belanda mengundangkan Indische Minjn Wet Tahun 1899 dan mengalami beberapa perubahan tahun 1900 dan 1904. Pada zaman kemerdekaan muncul beberapa ketentuan perundang-undangan mengatur pengelolaan migas di antaranya UU Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Kemudian muncul UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertambangan Minyak Nasional (pertamina) dan dirobah dengan UU Nomor 10 tahun 1974 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina. UU inipun dicabut dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang salah satu ketentuannya mengatur Participating Interest (PI). Perubahan berbagai ketentuan di atas, tidak saja dimaknai untuk menyesuaikan kebutuhan hukum pada masa tertentu tetapi juga mengisyaratkan adanya berbagai persoalan pada tingkat relasi ‘kepentingan ekonomo-hegemoni penguasa perminyakan-dan keinginan exclusivitas dalam pengelolaannya’. (*)