Situasi Jurnalisme TV


Sikamseupay Blog akan berbagi tentang


Situasi Jurnalisme TV


.



Tribun Kaltim – Sabtu, 12 Januari 2013 20:30 WITA




Oleh Dwi Hendro Basuki


Warga Bontang- Anggota IJTI, Karyawan Publik Khatulistiwa Televisi (PKTV) Bontang

“Televisi adalah salah satu media tempat imajinasi bangsa itu dibangun, diproduksi, direproduksi, atau malah dihancurkan” (Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat)


Peluncuran buku berjudul “Jurnalisme Televisi Indonesia, Tinjauan Luar Dalam”  pada Kongres ke-4 Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, pada 30 November sampai 2 Desember 2012 yang lalu menjadi kado manis bagi organisasi jurnalis televisi di Indonesia pada akhir tahun 2012. Setidaknya buku ini menandai sejarah serta kiprah organisasi ini sejak mula dilahirkan pasca reformasi 1998 hingga saat ini.


Buku setebal 213 halaman ini ditulis oleh anggota IJTI yang merupakan pelaku utama dan sejumlah tokoh nasional. Tiga tema besar terdapat dalam buku ini. Pertama, “Pencerah Pers Indonesia” yang terkait peran dan perkembangan IJTI sebagai organisasi para jurnalis televisi baik dari cara pandang para penggiat di dalamnya maupun sejumlah tokoh publik yang pernah bersentuhan dengan organisasi ini. Kedua, “Tinjauan Jurnalisme” dengan sejumlah tulisan yang membidik peran jurnalisme televisi dan persoalannya. Ketiga, “Tinjauan Profesionalisme” yang menakar regulasi serta pentingnya ujji kompetensi jurnalis televisi dalam menjalankan tugasnya yang terkait strategi bisnis dan politik melalui iklan sebagai sumber pendapatan.


Masing-masing tema tersebut diisi 24 tulisan singkat, semacam esai, yang mengantarkan pembaca pada situasi jurnalisme televisi di Indonesia pasca reformasi. Jika boleh dibilang, buku ini semacam pemetaan terhadap segala sepak terjang jurnalisme televisi, termasuk peran aktif IJTI di dalamnya, dalam mengisi proses reformasi yang telah dilakukan.


IJTI resmi berdiri sejak 08 Agustus 1998 sebagai organisasi yang menghimpun para jurnalis televisi. Dituliskan Ketua Umum IJTI, Imam Wahyudi dalam buku ini, fokus kegiatan IJTI adalah pada peningkatan kapasitas anggota, advokasi terhadap anggota/institusi pers yang mengalami masalah saat menjalankan tugas jurnalistik profesionalnya, serta penegakan kode etik (Lahir dan Menjadi, hal: 62).


Tonggak ini berbuah sejarah besar. IJTI tampil sebagai organisasi jurnalis yang bersikap anomali dengan mengubah peran pers dalam peta politik Indonesia. Jelang pemilu 1999, ketika organisasi marak mengajukan jatah kursi di MPR sebagai Utusan Golongan, IJTI berani menolak adanya unsur pers dalam lingkaran kekuasaan. Aksi ini dinilai Refly Harun telah sejalan dengan semangat zaman dan idealisme pers sampai kapan pun (IJTI: Memilih Jalan yang Memang Harus Dipilih, hal: 19).


IJTI tetap hadir hingga saat ini dengan berbagai persoalan dan harapan yang dikandung rahim jurnalisme televisi. Beberapa di antaranya mulai lahir dan memerlukan penanganan. Mulai dari konten materi siaran, penerapan regulasi yang memayunginya, hingga pelanggaran kode etik jurnalistik dan kesejahteraan para jurnalis.


Terutama, tentang pelanggaran kode etik jurnalistik yang suka atau tidak suka akan menggiring pers kepada jurang ketidakpercayaan dari masyarakat. Dewan Pers mencatat, sejak 2000 hingga 2010, jumlah pengaduan masyarakat terkait pers dan jurnalis cenderung meningkat. Dari pengaduan tersebut, fakta menunjukkan 80% dari kasus yang ditangani/dimediasi, berakhir dengan keputusan telah terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik oleh media atau jurnalis (Pentingnya Standar Kompetensi Jurnalis TV, hal:139).


Dalam buku ini, fakta tersebut berujung pada pentingnya standardisasi kompetensi jurnalis yang sekarang giat diikuti para jurnalis. Standardisasi kompetensi ini telah menjadi bagian dari tanggung jawab Dewan Pers, organisasi jurnalis, serta manajemen perusahaan tempat jurnalis bekerja, hingga kepada para pemilik modal media bersangkutan. Menuju capaian tersebut, khususnya IJTI, telah bergerak melakukan pelatihan para jurnalis televisi di daerah, termasuk di Kaltim, pada 2012 lalu tentang Peliputan di Wilayah Konflik.


Meskipun telah berisi pelbagi persoalan kompleks dan komprehensif dalam jurnalisme televisi di Indonesia, termasuk lampiran Kode Etik Jurnalistik Televisi, buku ini masih belum terbebas dari kekurangan. Setidaknya, buku ini tidak menyediakan indeks buku yang terkadang cukup vital bagi sebuah pembacaan komprehensif. Buku ini juga tidak akomodatif terhadap konteks dan perjalanan televisi lokal yang jumlahnya tak kurang dari 230 stasiun dalam pergaulannya dengan hajat jurnalisme televisi secara nasional.


Pentingnya indeks pada buku ini terlebih untuk menyediakan sejumlah referensi pertelevisian tersebut yang bisa dilacak oleh pembaca agar tidak kehilangan akar persoalan dan batasan pertelevisian itu sendiri. Garin Nugroho dalam buku Kekuasaan dan Hiburan (1995) tentang Tenaga Kerja dan Paradoks Televisi berujar, jika perkembangan televisi memerlukan “sebuah pergerakan dari sebuah desain untuk mengubah masyarakat konsumen menjadi pencipta.” Upaya tersebut menjadi penting terutama ketika masyarakat kita sama sekali terasing dan tidak pernah diberi pembelajaran bagaimana cara “menggunakan” televisi.


Hal ini penting terutama ketika para praktisi dan pakar televisi berniat untuk semakin melibatkan masyarakat ke dalam geliat televisi itu sendiri. Misal, saat ini berlaku adanya citizen jurnalsm (jurnalisme warga). Namun, tanpa dibarengi semacam keterampilan dan perkakas untuk mencapainya, akan jauh panggang dari api.


Terlepas dari kekurangan itu, kehadiran buku “Jurnalisme Televisi Indonesia, Tinjauan Luar Dalam”  ini akan mampu mengajak masyarakat untuk memahami paras dan situasi jurnalisme televisi dalam dua puluh tahun terakhir sejak pertelevisian mulai merebak setelah eksklusivitas dan monopoli penyiaran TVRI dihilangkan  pada 1989 pasca televisi swasta pertama kali berdiri. Yang layak menjadi catatan adalah perkembangan ini terus berjalan namun belum dibarengi oleh sistem untuk pendidikan pertelevisian bagi masyarakat yang mencakup sejumlah anasir dan istilah yang sangat langka ditemukan dalam ruang pendidikan formal, baik dari tingkat dasar hingga tinggi, kecuali pada pendidikan yang mengkhususkan diri pada dunia broad cast. Wassalam. (*)




Situasi Jurnalisme TV


Terima kasih telah membaca artikel dengan judul Situasi Jurnalisme TV , artikel tersebut merupakan referensi dari
Tribun Kaltim


Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+